Hidup Bukan Milik Kita Sendiri

Minggu, 14 Januari 2024 oleh Pdt. Fo Era Era Gea

Hidup Bukan Milik Kita Sendiri

Yohanes 1:43-51

 

Waktu itu ada anggota jemaat yang sakit dan dirawat di rumah. Saya bersama dengan tim perkunjungan berencana untuk mengunjunginya. Kami sepakat kumpul di gereja dan berangkat bersama-sama. Setibanya kami di lokasi, ternyata lingkungan dan keadaanya sudah berbeda. Dengan tetap semangat kami mulai memasuki gang satu per satu. Namun ternyata tidak ketemu. Kami mulai bertanya kepada orang-orang di sekitar dengan alamat yang terdata, tetapi orang-orang juga tidak tahu. Kami pun mulai bertanya dengan menggunakan nama, ternyata tidak ada yang kenal juga. Kami mencoba menghubungi yang bersangkutan, namun tidak ada respon. Oleh karena mengalami kebuntuan, kami beristirahat di dekat Masjid. Di tengah istirahat itu, saya beranikan bertanya kepada seorang bapak yang ada di Masjid itu dengan harapan mungkin bapak ini tahu. Ternyata bapak itu juga tidak tahu, tetapi meski tidak tahu ia mencoba menanyakan kepada rekannya. Bapak itu pergi dan kami melanjutkan pencarian kami. Tidak lama kemudian bapak itu kembali menjumpai kami. Ia kemudian mengkonfirmasi apakah betul orang ini yang kami cari. Kami diantar sampai ke tujuan, dan ternyata memang benar bahwa rumah yang ditunjukan itu adalah rumah anggota jemaat kami.

Secercah pengalaman ini mencelikkan kita bahwa siapapun dengan latar belakang apapun selalu bisa menghadirkan kebaikan untuk sesama. Konsekuensi dari pengalaman ini harusnya merobohkan stereotip yang selalu menilai seseorang hanya dengan latar belakangnya. Sayangnya stereotip seperti ini masih berdiri kokoh. Hal inilah juga yang kita jumpai pada diri Natanael dalam narasi Injil Yohanes 1:43-51. Kala Filipus bersaksi bahwa ia berjumpa dengan Pribadi yang dibicarakan dalam Kitab Musa dan para nabi-nabi, yaitu Yesus anak Yusuf dari Nazaret (ay. 45), spontan Natanael merespon, “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” (ay. 46). Agaknya Nazaret pada masa itu dipandang sebagai tempat buruk. Bisa jadi karena Nazaret berada di luar jalur utama gerak kehidupan Israel. Letaknya sebagai kota terdepan di perbatasan selatan Zebulon kemudian membuat Nazaret menjadi tempat terpencil sehingga penduduk di sana menjadi orang Yahudi yang udik dan totok.

Terlepas dari apa yang membuat stereotip Nazaret yang buruk, Natanael tetap membuka dirinya untuk mau berjumpa dengan Yesus. Segera ia merespon ajakan Filipus dan berjumpa dengan Yesus. Menarik bahwa perjumpaan ini pada akhirnya bukan hanya menorehkan kekaguman melainkan juga mengubah cara pandang Natanael. Baginya Yesus bukan hanya dari Nazaret, tetapi Ia adalah Rabi, Anak Allah, Raja orang Israel (ay. 49). Perjumpaan ini bukan hanya merobohkan stereotip Nazaret, tetapi juga membuat Natanael menyadari bahwa hidup bukan melulu tentang dirinya. Hidup adalah milik Tuhan, dan karenanya kehidupan itu harus diterjemahkan untuk kebaikan bersama terhadap orang lain. Hal ini hanya bisa terjadi ketika kita dengan sungguh mau membuka diri, mengalami, menikmati proses perjumpaan itu. Dititik itulah kita tidak lagi terfokus hanya pada diri kita melainkan bagi dunia yang dicintai Tuhan ini. Dengan demikian hidup memang bukan milik kita. Ia adalah milik Tuhan yang dipersembahkan bagi dunia ini. Jadi kalau bapak yang tidak mengenal Kristus saja mampu menolong saya dan tim perkunjungan menemukan rumah anggota jemaat, lebih-lebih kita yang mengenal dan mengecap kasih Allah dalam Kristus melalui kuasa Roh Kudus. Selamat berbagi hidup. Tuhan memampukan!

Pdt. Fo Era Era Gea