Mazmur 23; Yohanes 10:11-18
Di masa kini (paling tidak di sekitar GKI Gresik) mungkin kita jarang melihat seorang yang berjalan sambil menggembalakan hewan ternak. Apakah mungkin karena memang betul-betul tidak ada atau ada hanya memang jarang kita lihat, kita tidak tahu persis. Kendatipun demikian, kalau kita merujuk kepada Alkitab kita bisa menemukan banyak sekali kisah-kisah yang berkaitan dengan gembala. Paling tidak kita bisa menjumpainya dalam refleksi Pemazmur atas Allah sebagai gembalanya. Dalam Mazmur 23, ia menggambarkan Allah yang membawa ke padang yang berumput hijau, yang membimbing ke air yang tenang, yang menyegarkan jiwanya, yang menuntun ke jalan yang benar, bahkan ketika harus berjalan dalam bayang-bayang kematian, ia tidak takut. Pemazmur sadar bahwa Allah adalah gembalanya.
Gambaran Allah sebagai gembala bukan hanya diperlihatkan di dalam kisah-kisah perjanjian lama, melainkan kita bisa jumpai melalui perkataan Yesus yang dengan tegas menyebut diri-Nya sebagai seorang gembala. Sebutan sebagai seorang gembala menggambarkan bahwa Ia adalah pemimpin yang senantiasa menjaga dan memelihara umat-Nya. Bukan hanya gembala, namun Ia menyebut diri-Nya sebagai gembala yang baik (Yoh. 10:11). Yesus menyebut diri-Nya sebagai gembala yang baik untuk memperlihatkan bahwa ada juga sosok yang tidak baik. Yesus menyebutnya sebagai seorang upahan yang bukan pemilik domba-domba sehingga ketika ada serigala, orang itu pergi meninggalkan domba-domba itu (Yoh. 10:12).
Sebutan “Akulah gembala yang baik” bukan hanya mau mengatakan itu saja, melainkan karena Yesus mau memberikan nyawa-Nya untuk menebus kita dari dosa. Ia buktikan melalui karya keselamatan yang dijalani melalui penderitaan di kayu salib. Ia bukan korban (victim) melainkan berkurban (sacrifice). Yesus adalah gembala yang baik juga karena Ia mengenal domba-domba-Nya (Yoh. 10:14). Mungkin orang lain tidak bisa mengenal kita sepenuhnya, akan tetapi Yesus sungguh mengenal kita sepenuhnya. Ia tahu, memahami dan mengerti apa yang ada di dalam hati dan pikiran kita.
Yesus adalah gembala yang baik, namun apakah itu berarti kita adalah domba yang baik? Masih pantaskah kita menyebut diri sebagai domba yang baik ketika kita justru hanya mementingkan diri kita sendiri? Masih pantaskah kita menyebut diri domba yang baik ketika kita tidak mau berkurban bagi sesama? Masih pantaskah kita menyebut diri sebagai domba yang baik ketika kita merasa paling baik dan benar ketimbang yang lain? Masih pantaskah kita menyebut diri sebagai domba yang baik ketika menyimpan dendam? Masih pantaskah kita menyebut diri sebagai domba yang baik dengan perilaku yang curang nan licik? Masih pantaskah kita menyebut diri sebagai domba yang baik ketika kita tak mampu menyatakan kasih?
Mari kita memeriksa diri kita sebab domba yang baik bukan hanya sekedar tahu melainkan mengenal Sang Gembala. Ia mendengar suara Sang Gembala. Ia mengikuti jalan Sang Gembala. Singkatnya, domba yang baik adalah mereka yang tidak pernah jauh dari Sang Gembala. Selamat berjalan bersama Allah Sang Gembala!
Pdt. Fo Era Era Gea